Selasa, 18 September 2012

2 MANUSIA SUPER


 
Siang ini, tanpa sengaja, saya
bertemu dua manusia super. Mereka
makhluk-makhluk kecil, kurus,
kumal berbasuh keringat. Tepatnya
di atas jembatan penyeberangan
Setia Budi, dua sosok kecil berumur
kira-kira delapan tahun menjajakan
tissue dengan wadah kantong plastik
hitam. Saat menyeberang untuk
makan siang mereka menawari saya
tissue di ujung jembatan, dengan
keangkuhan khas penduduk Jakarta
saya hanya mengangkat tangan
lebar-lebar tanpa tersenyum yang
dibalas dengan sopannya oleh
mereka dengan ucapan, “Terima
kasih Oom!” Saya masih tak
menyadari kemuliaan mereka dan
cuma mulai membuka sedikit senyum
seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah
lajur lain di atas jembatan, menyapa
seorang laki laki lain dengan tetap
berpolah seorang anak kecil yang
penuh keceriaan, laki-laki itu pun
menolak dengan gaya yang sama
dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup
saya mendengar ucapan terima kasih
dari mulut kecil mereka. Kantong
hitam tempat stok tissue dagangan
mereka tetap teronggok di sudut
jembatan tertabrak derai angin
Jakarta. Saya melewatinya dengan
lirikan kearah dalam kantong itu, dua
pertiga terisi tissue putih berbalut
plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya
melewati tempat yang sama dan
mendapati mereka tengah
mendapatkan pembeli seorang
wanita, senyum di wajah mereka
terlihat berkembang seolah
memecah mendung yang sedang
menggayuti langit Jakarta.
“Terima kasih ya mbak … semuanya
dua ribu lima ratus rupiah!” tukas
mereka, tak lama si wanita merogoh
tasnya dan mengeluarkan uang
sejumlah sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya …
ada uang pas nggak mbak?” mereka
menyodorkan kembali uang tersebut.
Si wanita menggeleng, lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih
kecil menghampiri saya yang tengah
mengamati mereka bertiga pada
jarak empat meter.
“Oom boleh tukar uang nggak, receh
sepuluh ribuan?” suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki
saya yang seusia mereka. Sedikit
terhenyak saya merogoh saku celana
dan hanya menemukan uang sisa
kembalian food court sebesar empat
ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas
saya. Lalu tak lama si wanita berkata
“Ambil saja kembaliannya, dik!”
sambil berbalik badan dan
meneruskan langkahnya ke arah
ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar
uang empat ribuan saya dan
menukarnya dengan uang sepuluh
ribuan tersebut dan meletakkannya
kegenggaman saya yang masih tetap
berhenti, lalu ia mengejar wanita
tersebut untuk memberikan uang
empat ribu rupiah tadi. Si wanita
kaget, setengah berteriak ia bilang
“Sudah buat kamu saja, nggak
apa..apa ambil saja!”, namun mereka
berkeras mengembalikan uang
tersebut. “Maaf mbak, cuma ada
empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi
saya kembalikan !”
Akhirnya uang itu diterima si wanita
karena si kecil pergi
meninggalkannya. Tinggallah
episode saya dan mereka. Uang
sepuluh ribu digenggaman saya
tentu bukan sepenuhnya milik saya.
Mereka menghampiri saya dan
berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke
bawah dulu untuk tukar uang ke
tukang ojek!”
“Eeh … nggak usah … nggak usah …
biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke
si kecil, ia menerimanya, tapi terus
berlari ke bawah jembatan menuruni
tangga yang cukup curam menuju ke
kumpulan tukang ojek. Saya hendak
meneruskan langkah tapi dihentikan
oleh anak yang satunya, “Nanti dulu
Om, biar ditukar dulu … sebentar.”
“Nggak apa apa, itu buat kalian”
lanjut saya. “Jangan … jangan oom,
itu uang oom sama mbak yang tadi
juga” anak itu bersikeras. “Sudah …
saya ikhlas, mbak tadi juga pasti
ikhlas !”, saya berusaha membargain,
namun ia menghalangi saya sejenak
dan berlari ke ujung jembatan
berteriak memanggil temannya
untuk segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong
plastik hitamnya dan berlari ke arah
saya. “Ini deh om, kalau kelamaan,
maaf ..”. Ia memberi saya delapan
pack tissue. “Buat apa?”, saya
terbengong “Habis teman saya lama
sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja
dulu”. Walau dikembalikan ia tetap
menolak.
Saya tatap wajahnya, perasaan
bersalah muncul pada rona
mukanya. Saya kalah set, ia tetap
kukuh menutup rapat tas plastik
hitam tissuenya. Beberapa saat saya
mematung di sana, sampai si kecil
telah kembali dengan genggaman
uang receh sepuluh ribu, dan
mengambil tissue dari tangan saya
serta memberikan uang empat ribu
rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka
kembali ke ujung jembatan sambil
sayup sayup terdengar percakapan,
“Duit mbak tadi gimana ..?” suara
kecil yang lain menyahut, “Lu hafal
kan orangnya, kali aja ketemu lagi
ntar kita kasihin …….”.
Percakapan itu sayup sayup
menghilang, saya terhenyak dan
kembali ke kantor dengan seribu
perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar
dari dua manusia super, kekuatan
kepribadian mereka menaklukan
Jakarta membuat saya trenyuh,
mereka berbalut baju lusuh tapi hati
dan kemuliaannya sehalus sutra,
mereka tahu hak mereka dan hak
orang lain, mereka berusaha tak
meminta minta dengan berdagang
tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum
balig, memiliki kemuliaan di umur
mereka yang begitu belia. Kejujuran
adalah mata uang yang berlaku
dimana-mana. Apa yang bukan milik
kita, pantang untuk kita ambil.

0 komentar:

Posting Komentar

matematikatheking

matematika smp

Followers