Jumat, 21 September 2012

AKU MASUK ISLAM KARENA ANAK KU


“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.”

Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan, “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.

Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak.

Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa.”

“Papah, hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya,” lanjutnya.

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono.

“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu ‘bisikan’ kedua terdengar, bahwa setelah adzan Maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan Maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”

Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio

Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah.

Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?”

“Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat Agnes tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap, “Astaghfirullah…”

Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono.

“Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih.

Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam

Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat.

Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.

Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

Selasa, 18 September 2012

2 MANUSIA SUPER


 
Siang ini, tanpa sengaja, saya
bertemu dua manusia super. Mereka
makhluk-makhluk kecil, kurus,
kumal berbasuh keringat. Tepatnya
di atas jembatan penyeberangan
Setia Budi, dua sosok kecil berumur
kira-kira delapan tahun menjajakan
tissue dengan wadah kantong plastik
hitam. Saat menyeberang untuk
makan siang mereka menawari saya
tissue di ujung jembatan, dengan
keangkuhan khas penduduk Jakarta
saya hanya mengangkat tangan
lebar-lebar tanpa tersenyum yang
dibalas dengan sopannya oleh
mereka dengan ucapan, “Terima
kasih Oom!” Saya masih tak
menyadari kemuliaan mereka dan
cuma mulai membuka sedikit senyum
seraya mengangguk ke arah mereka.
Kaki-kaki kecil mereka menjelajah
lajur lain di atas jembatan, menyapa
seorang laki laki lain dengan tetap
berpolah seorang anak kecil yang
penuh keceriaan, laki-laki itu pun
menolak dengan gaya yang sama
dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup
saya mendengar ucapan terima kasih
dari mulut kecil mereka. Kantong
hitam tempat stok tissue dagangan
mereka tetap teronggok di sudut
jembatan tertabrak derai angin
Jakarta. Saya melewatinya dengan
lirikan kearah dalam kantong itu, dua
pertiga terisi tissue putih berbalut
plastik transparan.
Setengah jam kemudian saya
melewati tempat yang sama dan
mendapati mereka tengah
mendapatkan pembeli seorang
wanita, senyum di wajah mereka
terlihat berkembang seolah
memecah mendung yang sedang
menggayuti langit Jakarta.
“Terima kasih ya mbak … semuanya
dua ribu lima ratus rupiah!” tukas
mereka, tak lama si wanita merogoh
tasnya dan mengeluarkan uang
sejumlah sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, nggak ada kembaliannya …
ada uang pas nggak mbak?” mereka
menyodorkan kembali uang tersebut.
Si wanita menggeleng, lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih
kecil menghampiri saya yang tengah
mengamati mereka bertiga pada
jarak empat meter.
“Oom boleh tukar uang nggak, receh
sepuluh ribuan?” suaranya
mengingatkan kepada anak lelaki
saya yang seusia mereka. Sedikit
terhenyak saya merogoh saku celana
dan hanya menemukan uang sisa
kembalian food court sebesar empat
ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas
saya. Lalu tak lama si wanita berkata
“Ambil saja kembaliannya, dik!”
sambil berbalik badan dan
meneruskan langkahnya ke arah
ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar
uang empat ribuan saya dan
menukarnya dengan uang sepuluh
ribuan tersebut dan meletakkannya
kegenggaman saya yang masih tetap
berhenti, lalu ia mengejar wanita
tersebut untuk memberikan uang
empat ribu rupiah tadi. Si wanita
kaget, setengah berteriak ia bilang
“Sudah buat kamu saja, nggak
apa..apa ambil saja!”, namun mereka
berkeras mengembalikan uang
tersebut. “Maaf mbak, cuma ada
empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi
saya kembalikan !”
Akhirnya uang itu diterima si wanita
karena si kecil pergi
meninggalkannya. Tinggallah
episode saya dan mereka. Uang
sepuluh ribu digenggaman saya
tentu bukan sepenuhnya milik saya.
Mereka menghampiri saya dan
berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke
bawah dulu untuk tukar uang ke
tukang ojek!”
“Eeh … nggak usah … nggak usah …
biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke
si kecil, ia menerimanya, tapi terus
berlari ke bawah jembatan menuruni
tangga yang cukup curam menuju ke
kumpulan tukang ojek. Saya hendak
meneruskan langkah tapi dihentikan
oleh anak yang satunya, “Nanti dulu
Om, biar ditukar dulu … sebentar.”
“Nggak apa apa, itu buat kalian”
lanjut saya. “Jangan … jangan oom,
itu uang oom sama mbak yang tadi
juga” anak itu bersikeras. “Sudah …
saya ikhlas, mbak tadi juga pasti
ikhlas !”, saya berusaha membargain,
namun ia menghalangi saya sejenak
dan berlari ke ujung jembatan
berteriak memanggil temannya
untuk segera cepat.
Secepat kilat juga ia meraih kantong
plastik hitamnya dan berlari ke arah
saya. “Ini deh om, kalau kelamaan,
maaf ..”. Ia memberi saya delapan
pack tissue. “Buat apa?”, saya
terbengong “Habis teman saya lama
sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja
dulu”. Walau dikembalikan ia tetap
menolak.
Saya tatap wajahnya, perasaan
bersalah muncul pada rona
mukanya. Saya kalah set, ia tetap
kukuh menutup rapat tas plastik
hitam tissuenya. Beberapa saat saya
mematung di sana, sampai si kecil
telah kembali dengan genggaman
uang receh sepuluh ribu, dan
mengambil tissue dari tangan saya
serta memberikan uang empat ribu
rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka
kembali ke ujung jembatan sambil
sayup sayup terdengar percakapan,
“Duit mbak tadi gimana ..?” suara
kecil yang lain menyahut, “Lu hafal
kan orangnya, kali aja ketemu lagi
ntar kita kasihin …….”.
Percakapan itu sayup sayup
menghilang, saya terhenyak dan
kembali ke kantor dengan seribu
perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar
dari dua manusia super, kekuatan
kepribadian mereka menaklukan
Jakarta membuat saya trenyuh,
mereka berbalut baju lusuh tapi hati
dan kemuliaannya sehalus sutra,
mereka tahu hak mereka dan hak
orang lain, mereka berusaha tak
meminta minta dengan berdagang
tissue.
Dua anak kecil yang bahkan belum
balig, memiliki kemuliaan di umur
mereka yang begitu belia. Kejujuran
adalah mata uang yang berlaku
dimana-mana. Apa yang bukan milik
kita, pantang untuk kita ambil.

Senin, 17 September 2012

17 old Live in Grave

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh "Have you ever know this story ..?
The story of a young man who lived for 17 years in the grave ..?
You might think that he lived in the area near the cemetery.
.??No ..!He does not live in the area near the cemetery, but he stayed in the grave itself ..!
How did it come ..?
You probably will not believe this story, because he was born to be (rich).
His father and mother were of noble birth and has a wealthabundant.In the view of the surrounding community, both parents are perfect parents.But people can only judge what it seems.People do not know that this distinguished parents who put their children into the grave, and lived for 17 years in the grave!
Every day, the children eat, drink and sleep in the grave, full of darkness.The children also underwent what can only be two parents, without a fight.Ahead of the birthday boy to-17.Her parents promised to grant any request the young man as a birthday gift.
The young man thought this was the one time he will submit his request.He does not want to remain in the grave.But are parents really would grant his request ..?
That day arrived.
The birthday boy the 17th.His parents came over and asked what gift he wanted.The youth replied:"Dad, Mom ... I do not ask for much, I only ask one thing." Said the young man.
"What is it, boy ..? say, a father and mother would have granted your request. "replied his parents.
"Mom and Dad promised ..?" Said the young man with hope."Sure, kid. Mom and Dad promised to fulfill your request, as long as we can. "Said the father.
"Mom ... Dad ... I do not want to stay longer in the grave." Said the young man.
"What? What is the purpose of your request, the boy ..? "Said his parents wonder ..
"He has promised to grant my request, and that request me, Dad." Said the young man.
"Yeah, boy. Dad had promised ... but ... but ... I do not understand, son. "Said the father was overwhelmed amazement .."Dad, it's 17 years I lived here, but everyday I hear any father or mother to read Al-Quran. While the Prophet once said that the house had never read the Quran in it is like a graveyard. I do not want to stay longer in the grave, well .. "replied the young man full of hope ..
Father and mother of the young man was silent.
"Mom and Dad never even taught me how to read the Qur'an. Indeed, luxury house, big and people see it as a palace. But they do not know, that in the eyes of the Prophet, the house is like a graveyard.If Mom and Dad want to keep their promises to grant my request, please Well .. I no longer want to live in a cemetery.Teach the one I read the Qur'an, so that the house is glowing with the light of the Quran .. "Pinta the young man ..~ ♥ ~
Dear Friend Rahimakumullah ...Thoughts on the one story above was ..!Where you been eating, drinking, sleeping and living? in rumahkah ..?In boarding an kah ..?In his counter-kah ..?Or whether in the grave ..?Because you live in a place that has never once had to read the Al-Quran ..?
Verily the Messenger of Allaah wa sallam likened the house that never read the Qur'an in it, like a tomb ..So where exactly you live now ..?
If you think your friend, helpful article.Please be share to be distributed to your friends, your friends, your family, or even people you do not know at all-even.
If they moved to revive the Quran at his residence after reading this article you share, then you may as well get a reply abundant reward from Allah Subhanahu Wa Ta'aala ..
Yaa Aamiin Robbil 'alaamiin ..!
"Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh"

Sabtu, 15 September 2012

17 TAHUN HIDUP DI DALAM KUBURAN

Assalamu’alaikum wr.wb.”
Pernahkah Anda mengetahui kisah ini..??

Kisah seorang pemuda yang hidup selama 17 tahun dalam kuburan..??

Anda mungkin mengira bahwa ia tinggal di daerah dekat kuburan.

.??
Tidak..!!
Dia tidak tinggal di daerah dekat kuburan, tapi ia tinggal di dalam kuburan itu sendiri..!

Bagaimana kisahnya..??

Anda mungkin tidak akan mempercayai kisah ini, karena pemuda ini lahir dari keluarga berada (kaya).

Ayah dan Ibunya orang yang terpandang dan memiliki kekayaan
yang berlimpah.
Dalam pandangan masyarakat sekitar, kedua orang tua ini adalah orang tua yang sempurna.
Namun orang hanya bisa menilai apa yang tampak.
Orang-orang tidak tahu bahwa kedua orang tua terpandang ini-lah yang memasukkan anaknya ke dalam kuburan, dan menjalani hidup selama 17 tahun di dalam kuburan!

Setiap hari, sang anak makan, minum dan tidur di dalam kuburan, yang penuh kegelapan.
Sang Anak juga hanya bisa menjalani apa yang diberikan kedua orang tuanya, tanpa perlawanan.
Menjelang ulang tahun pemuda itu yang ke-17.
Orang tuanya berjanji akan mengabulkan apa pun permintaan si pemuda sebagai hadiah ulang tahunnya.

Sang pemuda berpikir, ini-lah saatnya dia akan mengajukan permintaannya.
Ia tidak ingin lagi tinggal di kuburan.
Tapi apakah orang tuanya benar-benar akan mengabulkan permintaannya..??

Hari itu pun tiba.

Sang pemuda berulang tahun yang ke-17.
Kedua orang tuanya datang menghampiri dan menanyakan hadiah apa yang ia inginkan.
Sang pemuda menjawab:
“Ayah, Ibu… saya tidak meminta banyak, saya hanya minta satu hal.” Kata pemuda itu.

“Apa itu, Nak..? katakan-lah, Ayah dan Ibu pasti akan mengabulkan permintaan-mu.” Jawab orang tuanya.

“Ayah dan Ibu berjanji..?” Kata sang pemuda dengan berharap.
“Tentu, Nak. Ayah dan Ibu berjanji akan memenuhi permintaan-mu, selama kami mampu.” Kata sang Ayah.

“Ayah… Ibu… saya tidak ingin tinggal lagi di kuburan.” Kata pemuda itu.

“Apa? Apa maksud permintaan-mu itu, Nak..?” Kata orang tuanya keheranan..

“Ayah sudah berjanji akan mengabulkan permintaan-ku, dan hanya itu permohonan-ku, Yah.” Kata sang pemuda itu.

“Iya, Nak. Ayah sudah berjanji… tapi… tapi… Ayah tidak mengerti, Nak.” Kata sang Ayah masih diliputi keheranan..
“Ayah, sudah 17 tahun saya tinggal di sini, tapi tidak sehari-pun saya mendengar Ayah atau Ibu membaca Al-Qur'an. Sedangkan Rasulullah pernah mengatakan bahwa rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Qur'an di dalamnya adalah seperti kuburan. Saya tidak ingin tinggal lagi di kuburan, Yah..” Jawab pemuda itu dengan penuh harap..

Ayah dan Ibu sang pemuda itu terdiam.

“Ayah dan Ibu bahkan tidak pernah mengajari-ku bagaimana membaca Al-Qur'an. Memang rumah ini mewah, besar dan orang-orang melihatnya sebagai Istana. Tapi mereka tidak tahu, bahwa di mata Rasulullah, rumah ini seperti kuburan.
Jika Ayah dan Ibu mau menepati janji mengabulkan permintaan-ku, tolong Yah.. Aku tidak ingin lagi tinggal di kuburan.
Ajari-lah aku membaca Al-Qur'an, agar rumah ini bercahaya dengan cahaya Al-Qur'an..” Pinta sang pemuda itu..
~ ♥ ~

Wahai Sahabat Rahimakumullah...
Renungan-lah cerita diatas tadi..!
Di manakah kalian selama ini makan, minum, tidur dan menetap? di rumahkah..??
Di kos-an kah..??
Di kontra-kan kah..??
Atau kah di kuburan..??
Karena di tempat yang kalian tempati tidak pernah sekali-pun membaca kan Al-Qur'an..??

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkan rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Qur'an di dalamnya, seperti kuburan..
Jadi, di manakah sebenarnya kalian tinggal saat ini..??

Jika menurut Sahabat, artikel ini bermanfaat.
Silakan di-share untuk disebarkan ke teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekali-pun.

Jika mereka tergerak hatinya untuk menghidupkan Al-Qur'an di tempat tinggalnya setelah membaca artikel yang Anda share ini, maka semoga Anda juga mendapatkan balasan Pahala yang berlimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta'aala..

Aamiin yaa Robbil 'alaamiin..!

“Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh” http://www.facebook.com/notes/rendi-sb/17th-hidup-di-dalam-kuburan/10151230767281214

Senin, 09 Juli 2012

Sejarah Kain Songket Palembang


Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang.
Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas. Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, peci khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai. Isitilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu.Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket.Beberapa kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue lokal Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan favorit raja.

Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.

Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk “Ratu Segala Kain”. Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.

Keberadaan kain songket Palembang merupakan salah satu bukti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang mampu penguasai perdagangan di Selat Malaka pada zamannya. Para ahli sejarah mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya sekitar abad XI setelah runtuhnya kerajaan Melayu memegang hegemoni perdagangan laut dengan luar negeri, diantara negara yang mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Sriwijaya adalah India, Cina, Arab dll. Keberadaan hegemoni perdagangan ini menunjukan sebuah kebesaran kerajaan maritim di nusantara pada masa itu. Keadaan geografis yang berada di lalu lintas antara jalut perdagangan Cina dan India membuat kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim dan perdagangan internasional.
Gemerlap warna dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai tersendiri dan menunjukan sebuah kebesaran dari orang-orang yang membuat kain songket. Apabila kita melihat rangkaian benang yang tersusun dan teranyam rapih lewat pola simetris, menunjukan bahwa kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami berbagai cara untuk membuat kain bermutu, yang sekaligus mampu menghias kain dengan beragam desain. Kemampuan ini tidak semua orang mampu mengerjakannya, keahlian dan ketelitian mutlak diperlukan untuk membuat sebuah kain songket. Pengetahuan ini biasanya diperoleh dengan cara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.



Menurut para ahli sejarah, seperti dikutip oleh Agung S dari Team Peneliti ITT Bandung dalam bukunya yang berjudul “Pengetahuan Barang Tekstil” ( 1977:209 ), mengatakan bahwa sejak zaman Neolithikum, di Indonesia sudah mengenal cara membuat pakaian. Dari alat-alat peninggalan zaman Neolithikum tersebut dapat diketahui bahwa kulit kayu merupakan pakaian manusia pada zaman prasejarah di Indonesia. Alat yang digunakan adalah alat pemukul kulit kayu yang dibuat dari batu,seperti yang terdapat pada koleksi Museum Pusat Jakarta. Disamping pakaian dari kulit kayu, dikenal juga bahan pakaian dengan mengunakan kulit binatang yang pada umumnya dipakai oleh laki–laki sebagai pakaian untuk upacara ataupun pakaian untuk perang. Sejak zaman prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia juga sudah mengenal teknik menenun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penemuan tembikar dari zaman prasejarah yang didalamnya terdapat bentuk hiasan yang terbuat dari kain tenun kasar.

Kemakmuran dizaman itu terlihat dari adanya kerajaan Sriwijaya yang menghasilkan berbagai kain songket, dimana pada masa itu diperkirakan gemerlap warna kain songket untuk para pejabat kerajaan khususnya untuk raja di berikan sulaman berbahan emas. Sebagai kerajaan yang kaya dengan emas dan berbagai logam mulai lainnya, sebagian emas-emas tersebut dikirim kenegeri Siam (Thailand) untuk dijadikan benang emas yang kemudian dikirim kembali kekerajaan Sriwijaya, oleh para perajin benang emas tersebut ditenun dengan menggunakan benang sutra berwarna yang pada masa itu diimpor dari Siam (Thailand), India dan Tiongkok (Cina). Perdagangan internasional membawa pengaruh besar dalam hal pengolahan kain songket terutama dalam memadukan bahan yang akan digunakan sebagai kain songket. Kain Songket untuk Raja dan kelurganya tentu memerlukan bahan dan pengerjaan yang lebih, benang sutra yang dilapisi emas menjadi bahan yang menonjol dalam pembuatanya, sehingga menghasilkan sebuah kain songket gemerlap, yang menunjukan sebuah kebesaran dan kekayaan yang tidak terhingga.

skripsi problem solving

skripsi problem solving bab 1

Minggu, 08 Juli 2012

APA ITU MATEMATIKA?


kali ini kita akan menjelaskan apa itu matematika, dan memeriksa beberapa contoh protomathematics, yaitu jenis pemikiran matematika di mana orang secara alami terlibat dalam kehidupan praktis sehari-hari. Kegiatan ini mengasumsikan bahwa terdapat cara berpikir yang biasa disebut matematik bersifat dengan sifat intrinsik manusia dalam budaya yang berbeda. Asumsi sederhananya bahwa menghitung dan bentuk umum seperti kotak dan lingkaran memiliki arti yang sama untuk semua orang. Matematika sebagai model cara berpikir dibagi menjadi empat kategori:

1. Bilangan. Konsep bilangan selalu menjadi hal pertama yang terlintas dalam pikiran ketika matematika disebutkan. Menghitung jari secara sederhana oleh anak-anak pra-sekolah merupakan bukti canggih terbaru dari teorema terakhir Fermat, bilangan merupakan komponen fundamental dalam dunia matematika.

2. Ruang. Dapat dijelaskan bahwa ruang bukan merupakan “sesuatu” cara yang mudah untuk mengatur benda-benda fisik dalam pikiran. Ketika orang mulai mengaktualkan pengetahuan intuitif, salah satu upaya pertama yang dilakukannya adalah mereduksi geometri ke dalam aritmatika. Pertama kali dipilih satuan-satuan seperti panjang, luas, volume, berat, dan waktu; dan pengukuran dari kuantitas yang berkelanjutan dari satuan tersebut direduksi untuk menghitung dan membangun unit-unit imajinatif. Dalam semua konteks praktis, pengukuran akan menjadi menghitung dengan cara ini. Tapi dalam pikiran murni ada perbedaan antara infinitely divisible dan atom (dari kata Yunani yang berarti indivisible). Selama 2500 tahun sejak Pythagoras membenturkan antara mode berpikir diskrit yang dinyatakan dalam aritmatika dan konsep intuitif kontinuitas yang dinyatakan dalam geometri menyebabkan munculnya teka-teki, dan solusi terhadapnya telah mempengaruhi perkembangan geometri dan analisis.

3. Simbol. Pada awalnya matematika berbentuk prosa biasa, kadang diserta dengan sketsa. Kegunaannya dalam ilmu dan masyarakat semakin meningkat ketika diperkenalkan simbol, meniru operasi mental dalam memecahkan masalah. Simbol untuk bilangan berbentuk ideogram yang muncul dalam bahasa tulisan dengan bentuk alfabet fonetik. Berbeda dengan kata-kata biasa, misalnya, simbol 8 memiliki ide yang sama dengan orang di Jepang yang membacanya sebagai hachi, orang Italia membacanya sebagai otto, dan vosem oleh orang Russia. Pengenalan simbol seperti + (tambah) dan = (sama dengan) untuk operasi dan hubungan matematika secara umum telah menyebabkan matematika sebagai ilmu pasti dan ilmu lainnya disebut non-matematika. Simbol terutama digunakan dalam mempelajari aljabar, tetapi digunakan pula dalam disiplin yang lain. Dan aljabar dianggap sebagai studi kebalikan dari aritmatika yang pada awalnya dipelajari tanpa simbol.
Pembuatan simbol telah menjadi kebiasaan manusia selama ribuan tahun. Contohnya lukisan dinding pada gua-gua di Perancis dan Spanyol, meskipun mungkin cenderung dianggap sebagai gambar. Sulit untuk menarik garis pemisah antara sebuah lukisan seperti Mona Lisa sebagai refresentasi animasi manusia dan ideogram yang digunakan dalam bahasa berbentuk tulisan berasal dari Cina. Alfabet fonetik yang menetapkan representasi simbol visual dari suara, hal ini merupakan awal dari pembuatan simbol. Selanjutnya simbol disajikan dalam banyak cara karena berlangsungnya interaksi manusia satu sama lainnya, dan yang paling murni simbol menjadi program komputer. Sering orang berpikir bahwa mereka tidak cukup pandai membaca intruksi matematis yang tertulis secara abstrak seperti musik, peta jalan, petunjuk perakitan perabotan, dan pola pakaian. Semua representasi simbolis mengeksploitasi kemampuan dasar manusia untuk membuat korespondensi dan memahami analogi.

4. Inferensi. Penalaran matematika pada awalnya bersifat numerik atau geometris yang melibatkan menghitung sesuatu atau “melihat” hubungan tertentu dalam angka geometris. Jenis-jenis penting lainnya seperti penalaran logis, retorika, dan sejenisnya dipelajari dalam studi lainnya yang lebih spesifik. Secara khusus, para filsuf bertanggung jawab atas gagasan-gagasan seperti cause, implication, necessity, chance, dan probability. Tetapi dengan Pythagorean, penalaran verbal dapat digunakan untuk geometri dan aritmatika melengkapi argumen visual dan numerik. Akhirnya, matematika mulai mempengaruhi logika dan argumen probabilitas dengan menghasilkan mata pelajaran matematika khusus: logika matematika, teori himpunan, probabilitas, dan statistik. Banyak perkembangan terjadi pada abad kesembilan belas karena matematika memunculkan minat yang kuat dan latar belakang dalam filsafat. Filsuf terus-menerus berspekulasi tentang makna dari semua subjek, tetapi bagian-bagian dari subjek tersebut dimiliki oleh matematika secara kokoh.

yang terpenting matematika adalah raja bagi ilmu pengetahuan.  Tanpa matematika (ilmu hitung) tentunya kehidupan tak akan indah, jadi mari dari sekarang kita rubah pemikiran kita bahwa matematika menyeramkan.............
sebagai buktinya sudah banyak game matematika yg menyenangkan.........
 

matematikatheking

matematika smp

Followers